Senin, 20 Februari 2012

Ki Gede Ing Suro

Kompleks pemakaman kuno ini sekarang menjadi bagian dari jalur hijau (green barrier) PT Pusri. Di kompleks pemakaman yang masuk dalam wilayah administratif Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan IT II ini, terdapat delapan bangunan dengan jumlah makam keseluruhan 38 buah. Salah satu tokoh yang dimakamkan di kompleks pemakaman yang dibangun sekitar pertengahan abad XVI ini adalah Ki Gede Ing Suro. Ki Gede Ing Suro aalah putra Ki Gede Ing Lautan, salah satu dari 24 bangsawan (bekas Demak yang menyingkir ke Palembang setelah terjadi kekacauan di kerajaan Islam besar di Pulau Jawa itu.Kekisruhan ini merupakan rangkaian panjang dari sejarah kerajaan terbesar di Nusantara (setelah Sriwijaya), yaitu Majapahit.
Raden Fatah yang lahir di Palembang adalah putra Raja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya V. Raden Fatah yang lahir dari Putri Cina (ada
yang menyebutnya Putri Champa) setelah istri Brawijaya itu dikirim ke Palembang dan diberikan kepada putra Brawijaya, Ariodamar atau Ario Abdillah atau Ario Dillah. Setelah dewasa, Raden Fatah bersama
Raden Kusen, putra Ario Dillah
dengan Putri Cina dikirim
kembali ke Majapahit. Oleh
Brawijaya V, Raden Fatah diperintahkan untuk menetap di Demak atau Bintoro sedangkan adiknya lain bapak, Raden Kusen, diangkat sebagai Adipati di Terung. Pada masa menjelang akhir abad XV ini, Islam di Pulau Jawa mulai kuat.
Saat terjadi penyerbuan oleh orang Islam terhadap Majapahit, prajurit kerajaan Hindu itu kalah dan Raja Brawijaya V menyingkir hingga kemudian mangkat.
Dengan demikian, berakhirlah
kekuasaan Majapahit. Setelah
keruntuhan Majapahit, Sunan
Ngampel Denta (wali tertua dalam Walisongo) menetapkan Raden Fatah sebagai Raja Jawa menggantikan ayahnya. Tentu saja, dengan pemerintahan Islam. Raden Fatah, dibantu para wali, kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Surabaya ke Demak sekaligus menyebarkan agama Islam di daerah ini. Atas bantuan penguasa dan rakyat di daerah yang sudah lepas dari Majapahit, antara lain Tuban, Gresik, Jepara, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1481 M. Dia menjadi raja pertama dengan gelar Jimbun Ngabdur-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata Agama.

Raden Fatah yang wafat sekitar tahun 1518 M, digantikan putranya, Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521 M. Pengganti Pati Unus adalah Pangeran Trenggono (wafat tahun 1546 M). Wafatnya Sultan ketiga Demak ini merupakan awal dari kisruh
berkepanjangan di kerajaan Islam yang sempat berpengaruh besar di Nusantara itu. Tahta kerajaan menjadi rebutan antara saudara Trenggono dengan putranya. Saudaranya, yang dikenal sebagai Pangeran Seda Ing Lepen dibunuh putra Trenggono, Pangeran Prawata. Prahara berlanjut dengan pembunuhan terhadap Prawata oleh Putra Seda Ing Lepen, Arya Penangsang atau Arya Jipang pada tahun 1549 M.
Menantu Trenggono, Pangeran Kalinyamat, juga dibunuh. Arya Penangsang akhirnya wafat dibunuh Adiwijaya menantu Trenggono yang terkenal sebagai Jaka Tingkir, Adipati penguasa Pajang ini kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Pajang.
Dengan demikian, berakhir pulalah kekuasaan Demak pada tahun 1546 M setelah berjaya selama 65 tahun. Akibat kemelut itu, sebanyak 24 orang keturunan Sultan Trenggono (artinya, keturunan Raden Fatah juga) hijrah ke Palembang di bawah pimpinan Ki Gede Sido Ing Lautan. Setelah Ki Gede Sido Ing Lautan yang sempat berkuasa di Palembang wafat, digantikan putranya, Ki Gede Ing Suro. Karena raja ini tidak
memiliki keturunan, dia digantikan saudaranya, Ki Gede Ing Suro Mudo.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar